Ngomongin soal Pemilu, seingatku pertama dan terakhir memilih tuh saat presiden SBY pertama kali nyalon. Saat itu memang saya memilih beliau, tapi kemudian saya merasa tak ada yang istimewah ketika pilihan kita itu menang. Sebab mereka yang terpilih akan menjadi yang terhebat, sementara kita tetap akan menjadi diri kita seperti apa adanya. Sejak saat itu, dalam momentum pemilu jenis apapun termasuk pilkades [pemilihan umum kepala desa] saya tak ikutan. Banyak yang berkesimpulan bahwa keputusan yang terus dipertahankan hingga pemilu 9 April 2014 ini, adalah hal yang keliru. Sebab menurut mereka, dengan menyalurkan aspirasi yang ada, kita dapat menjadi bagian dari perubahan akan proses ke depan bangsa ini. Saya sih, fine-fine ajah dengan pernyataan itu..:)
Kenapa? ya karena itu menurut mereka, tapi kita kan punya pandangan masing-masing. Dan apapun keputusan kita, adalah hal yang memang telah kita perhitungkan. Jika tidak memilih kita dikatakan bukan bagian dari NKRI, mungkin saya akan nyoblos, hehe. Karena saya adalah anak negeri yang cinta akan negeri ini, meskipun dari segala hal pemerintah banyak menjual aset-aset negeri. Punya kekayaan alam yang berlimpah, namun rakyat tetap ajah banyak yang melarat. Tapi apapun itu, saya adalah anak Indonesia sekarang dan sampai kapanpun.
Mungkin salah ya, tapi jujur kebanyakan dari mereka yang terpilih itu. Suatu saat akan lebih mengutamakan kepentingan pribadinya ketimbang kepentingan orang banyak. Buktinya sudah banyak. Contohnya, banyak kasus korupsi yang pada ujung-ujungnya tersangkanya adalah mereka [orang-orang yang kita anggap hebat dan kita percayakan untuk dapat menyampaikan aspirasi]. Mereka yang dipercaya, justru lebih banyak mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok, tanpa peduli akan nasib kita [memang sih, ada beberapa orang yang benar-benar bekerja untuk rakyat]. Namun, di dalam sana, sistemnya kolektif. Jika tidak ditemukan jalan keluar maka ujung-ujungnya voting, ya jelas kalah lah yang mau bekerja untuk rakyat.
Apalagi kepada mereka yang mencalonkan diri dengan menghamburkan banyak uang. Tak akan mungkin mau memiskinkan diri jika tak ada tujuan untuk memperkaya diri. Iya, mereka yang menghamburkan uang banyak, pasti nekad. Karena mereka yakin, kelak jika terpilih dapat memperoleh hasil yang lebih banyak lagi. Seperti yang biasa terdengar dari kicauan 'burung', mereka akan mendapatkan fee dari sejumlah proyek pemerintah. Tak hanya itu, dari gaji, uang makan, uang rokok, uang rapat hingga uang turun lapangan dan SPPD, hasil yang diperoleh juga sangat banyak. Padahal, kebanyakan dari mereka kerjanya, hanya datang, duduk, diam, terima amplop, lalu pulang.
Untuk satu daerah yang merupakan daerah kelahiran saya saja, beberapa peraturan daerah hingga selesai masa jabatannya tak kunjung terselesaikan. Tapi soal dana perjalanan, pasti selesai sebelum habis masa penggunaannya. So apa sih manfaatnya bagi kita ? kalau hanya karena dia yang mencalonkan adalah keluarga, teman, atau apalah, apakah kita nantinya juga akan dimudahkan dalam mencari pekerjaan ?
Momentum Pemilu legislatif 9 April 2014 ini, dalam keluarga tak hanya saya sendiri yang memilih Golput [Golongan Putih]. Tapi isteri sayapun memilih hal yang sama, meski hanya ikut-ikutan namun dirinya pun mengakui jika siapa saja yang terpilih dari hasil pencoblosan. Tak akan pernah mempengaruhi kehidupan atau perekonomian keluarga [biasa ibu-ibu selalu mikirnya soal dapur, hehe]. Namun itu ada benarnya, mereka yang terpilih nantinya bakal naik mobil berkaca gelap, saat kita menyapa. Jangankan balas menyapa, buka kaca mobilnyapun akan susah. Jadi pilihan kami 'golput' adalah yang terbaik, biarlah kami menjadi penonton yang baik dalam setiap momentum itu.
Maaf jika salah, namun itu adalah pilihan saya sampai saat ini !
"Kita adalah penonton yang baik, siapapun yang terpilih, untuk makan kita tetap harus bekerja,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar